Moderasi Beragama dan Ekoteologi: Mewadahi Koeksistensi Lintas Agama dalam Merefleksikan Kerusakan Lingkungan

Doc. Salah satu santri Ponpes Lirboyo yang sedang memilah sampah botol plastik di bank sampah Ponpes Lirboyo, Kediri, Jawa Timur.
“Memperluas Horizon Kerukunan: dari Koeksistensi Menuju Pro-eksistensi”, adalah salah satu bab dari buku Trilogi Kerukunan: Membumikan Moderasi Beragama, Ekoteologi dan Kurikulum Berbasis Cinta oleh Kementrian Agama Tahun 2025. Moderasi Beragama yang menjadi jargon khas Kementrian Agama 5 tahun terakhir, kini mendapatkan kawan mainnya, yaitu isu Ekoteologi yang sekarang menjadi jargon khas kementrian Agama tahun 2025.
Bukan tanpa sebab, krisis lingkungan sudah menjadi isu mainstream dan bukan hak preogoratif Dinas Lingkungan semata. Agama perlu hadir ditengah rintihan-rintihan korban bencana ekologis, menyorot pihak terdzolimi yang ternyata kini disadari, melingkupi alam non-manusia, yaitu entitas-entitas alam yang selama ini sering dilupakan.
Refleksi diatas, merupakan refleksi ketika penulis mengikuti Kegiatan Pelatihan Penggerak Moderasi Beragama serta Penguatan Ekoteologi yang diadakan oleh Kementrian Agama di 4 kota, Jakarta, Bandung, Kudus, serta Tulung Agung. Kegiatan yang penulis ikuti ini bertempat di Tulung Agung, difasilitias oleh Tim Moderasi Beragama Kemenag, serta UIN Tulung Agung.
Selama 6 hari, kegiatan Pelatihan Penggerak ini dilaksanakan fullday, pagi sampai malam. Pada hari pertama sampai ke empat, wawasan yang diperkuat adalah wawasan moderasi sebagai cara pandang dan kerangka berfikir dalam menyikapi cara beragama umat beragama, beserta isu-isu di dalamnya. Di dalam moderasi beragama juga terdapat berbagai kerangka penyelesaian masalah, untuk mencari akar masalah dan mencari solusi yang tepat untuk menyelesaikannya.
Dengan kerangka moderasi beragama yang sudah didapat pada hari awal, isu ekoteologi terwujud menjadi wacana dalam ragam krisis lingkungan yang ada pada masing-masing daerah asal perserta. Dari total 60 orang peserta, terdapat 20 peserta yang berasal dari Kalimantan, dan sisanya dari Sulawesi. Sudah bukan rahasia umum, di luar Jawa, pengrusakan alam adalah eksploitasi dengan dalih-dalih industri dan penguatan ekonomi. Yang menarik dari rangkaian diskusi dan pembelajaran pada agenda ini, adalah bagaimana cara pandang lintas agama, didengarkan, dan dikomunikasikan sehingga kesadaran akan ekoteologi tumbuh dalam wacana moderasi yang inklusif, tidak terbatas pada satu agama. Cara pandang seperti ini yang berpotensi mewujudkan persatuan dalam wujud perlawanan dan penolakan terhadap eksploitasi lingkungan yang semakin menjadi. Dimana ada kesatuan, disitu ada jalan

